Rabu, 08 Januari 2014

Bencana : Akibat Dosa Teologis atau Sosiologis ?

Setiap kali bencana melanda, dalam hal ini bencana alam, selalu timbul pertanyaan; apakah bencana merupakan peringatan dari Tuhan ataukah fenomena alam biasa ? Apakah bencana merupakan kehendak Tuhan ataukah murni kesalahan manusia ? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu muncul ketika ribuan nyawa melayang dan kerusakan yang maha dahsyat seakan mematahkan semangat manusia untuk kembali memulai kehidupannya.
Paradigma berfikir masyarakat tentang bencana (alam) sebagian besar didominasi oleh keyakinan bahwa bencana merupakan kehendak dari Tuhan. Dalam konteks sebagai ujian, bencana merupakan cara Tuhan menguji makhluknya sejauh mana mereka taat dan mengakui kebesaranNya. Sebagai peringatan atau teguran, Tuhan diyakini murka karena manusia lalai dengan ajaran agama dan menimpakan malapetaka. Baik ujian maupun peringatan, pandangan ini memposisikan manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya, dan setiap kesalahan akibat dosa manusia karena tidak menjalankan segala perintah-Nya.
Dalam Islam, pandangan ini bisa dimaklumi mengingat dalam hal teologis, sebagian besar muslim Indonesia menganut aliran Asy’ariah, yakni aliran yang diperkenalkan oleh seorang ulama Abu Hasan Al’Asyari dari Irak. Salah satu inti keyakinan dari aliran ini adalah tidak mengenal free will & free act dalam atau dengan bahasa lain menafikan potensi manusia. Segala sesuatu yang ada atau terjadi di dunia adalah merupakan kehendak Tuhan.
Dalam pandangan mereka yang menganut aliran ini, sebelum dilahirkan manusia sudah memiliki tiga ketetapan yang tidak diketahui dan dirubah oleh manusia: rejeki (baca: berhubungan dengan ekonomi), jodoh (baca:berhubungan dengan keturunan, sosial dan pertumbuhan masyarakat) dan kematian. Dalam konteks inilah setiap dampak dari bencana (baik itu korban jiwa maupun kerusakan) harus diterima dengan pasrah dan sikap sabar, sebagai bentuk pengakuan manusia atas kebesaran Tuhan, tanpa ada upaya untuk menggali kenapa bencana bisa terjadi.
Mereka yang menganut aliran ini umumnya juga menganggap bahwa bencana (alam) dan merupakan hukuman akibat kesalahan/dosa yang dilakukan manusia karena mengingkari ajaran Tuhan dalam konteks ritual, meski secara ilmiah sama sekali tidak bisa dijelaskan bagaimana korelasinya. Misalnya yang paling sering muncul adalah bencana (alam) akibat banyak tindak maksiat yang dilakukan manusia seperti berzina, minuman keras atau tidak menjalankan ritual ibadah tertentu.
Keyakinan fatalistik ini selalu dijadikan tempat berlindung dari pihak tertentu, utamanya pemegang kekuasaan sebagai alat untuk menghindar dari tanggung jawab sosial mereka. Bencana sebagai kehendak Tuhan menjadi legitimasi dari sikap ketidakberpihakan dan pengabaian penguasa terhadap setiap penderitaan dan hilangnya hak sosial ekonomi masyarakat ketika bencana terjadi. Kasus lumpur Lapindo yang tidak kunjung selesai adalah salah satu contoh nyata keyakinan fatalistik masyarakat yang dijadikan pembenaran oleh penguasa untuk tidak memenuhi hak sosial ekonomi korban dengan alasan semburan lumpur merupakan bencana alam.
Memang belakangan ini mulai muncul pemikiran progresif yang memberikan cara pandang baru dalam menyikapi bencana meskipun pandangan ini seperti arus kecil ditengah pusaran ombak mayoritas kaum fatalistik di negeri ini. Pandangan ini meyakini bahwa bencana yang terjadi adalah akibat dari kesalahan manusia dalam kehidupan sosialnya, bagaimana manusia mengelola dan memperlakukan alam yang bersumber dari cara pandangnya terhadap alam semesta.
Dalam Al Quran sendiri ada tiga istilah yang berhubungan dengan bencana, yaitu azab, musibah dan bala. Azab ditujukan kepada para pendosa, tanpa ada penjelasan apa penyebabnya dan biasanya merupakan kisah yang sangat luas maknanya. Misalnya banjir besar pada zaman Nabi Nuh, atau wabah penyakit pada zaman Nabi Luth dan azab yang ditujukan pasukan Abrahah yang mencoba menyerang dan menghancurkan Ka’bah.
Sedangkan musibah dan bala ditujukan baik kepada pendosa maupun orang baik-baik, dan sebagian besar bisa dipahami oleh akal manusia. Istilah yang barangkali dekat dengan bencana dalam Al Quran disebut dengan fasad (kerusakan). Jika merujuk pada ayat Al Quran, ada dua jenis bencana, yaitu : Pertama, adalah bencana yang diakibatkan oleh fenomena alam, seperti banjir, gunung meletus atau angin topan. Sebagai contoh, dalam Al Quran sendiri diterangkan bahwa fungsi gunung adalah sebagai pasak bumi sebagaimana yang diterangkan dalam Surat An-Naba ayat 7, namun ternyata juga bisa menimbulkan bencana karena memuntahkan debu, lahar panas, dan gas beracun (Surat Al-Mursalat ayat 10), fenomena tsunami seperti dalam surat At Takwin ayat 6, dan angin topan dalam surat Al Fushilat ayat 16. Bencana dalam kategori ini merupakan sunnatullah (hukum alam), di mana manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencegahnya, tetapi manusia dimungkinkan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya dengan kemampuan akalnya. Ini sesuai dengan ayat Al Baqarah ayat 286 “Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hambaNya”. Bahkan surat Al Ra’du ayat 11 menyatakan ”….sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…”, yang dengan jelas bisa dimaknai bahwa realitas di mana manusia hidup dalam alam semesta yang penuh dengan ancaman bencana tidak seharusnya disikapi secara pasrah atau fatalistik, melainkan harus dicari bagaimana cara untuk mengatasinya, atau setidaknya mengurangi kerusakan-kerusakan akibat dari fenomena alam tersebut. Kedua, bencana atau kerusakan sebagai kesalahan manusia sendiri. Beberapa ayat yang menjadi dasar dari pandangan ini antara lain; ”Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian” (QS As Syura : 30). Atau dalam surat As Syura ayat 30 yaitu ”…dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka itu karena disebabkan perbuatan tangan- tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syura: 30). Dan ayat yang dengan gamblang menyatakan peran manusia dalam kerusakan alam yaitu surat Ar Rum ayat 41: ”Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Beberapa ayat Al Quran diatas jelas menunjukkan bahwa bencana yang terjadi tidak semata karena kesalahan atau dosa teologis manusia yang tidak mengindahkan ajaran Tuhannya tanpa ada korelasi atau sebab akibat yang melatar belakangi bencana tersebut. Bencana lebih merupakan akibat dari dosa sosial manusia, yakni ketika mereka mengelola dan memanfaatkan alam semesta untuk keberlangsungan hidupnya dengan cara yang melebihi batas dan mengabaikan etika.
Disahkannya UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjadi bukti yang menggembirakan dari berubahnya cara pandang para pengambil kebijakan di negeri ini. Bencana (alam) tidak lagi dianggap sebagai isu sampingan atau tambahan, kalah ”seksi” dibanding isu-isu pembangunan lainnya seperti stabilitas politik, ekonomi, pertahanan maupun isu lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektifkah penerapan undang-undang tersebut di Indonesia yang mayoritas didominasi cara pandang fatalisik ini, atau sejauh mana perangkat-perangkat turunan dari UU tersebut bisa digunakan oleh pengambil kebijakan untuk menyediakan kebijakan yang memihak kepentingan masyarakat umum dalam penanggulangan bencana, tidak saja untuk tindakan reaktif pasca bencana, tetapi juga tindakan-tindakan preventif dalam arti bencana bisa dicegah sebelumnya.
Merubah paradigma berpikir fatalistik soal bencana juga bukan sesuatu yang mudah karena ia terkait dengan keyakinan yang juga mengambil landasan dan sumbernya dari kitab suci. Peran dari tokoh-tokoh agama, cerdik cendekia dan pengambil kebijakan menjadi penting untuk menjelaskan berbagai hal tentang bencana (alam), sebagai upaya untuk menghapus mental pasrah dan cara pandang fatalistik tersebut, sekaligus juga meningkatkan pengetahuan dan kapasitas masyarakat dalam menanggulangi bencana untuk meminimalisir korban jiwa dan kerusakan yang terjadi.

“Membongkar Jaring Kuasa Kapitalisme Global” Studi Sosiologis Atas Marginalisasi Musik Rock Indonesia

Berkembangnya pengetahuan dan teknologi telah memberi jalan baru bagi manusia dewasa ini sekaligus membantu mempermudah aktivitas hidupnya. Timbulnya kecenderungan untuk melakukan sesuatu dengan cara yang instan telah menjadi salah satu ciri manusia saat ini dalam menikmati arus modernisasi sebagai kekuatan ladang interaksi berkembangnya kapitalisme global di negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu contoh kongkrit dari kekuatan tuntutan interaksi kapitalisme global adalah membuludaknya industri musik. Baik aliran pop, rock atau dangdut dan sejenisnya. Terjadinya aktivitas seperti inilah merupakan salah satu fakta sejarah adanya benih-benih perubahan dalam bidang seni dan budaya.
Mengacu pada diskusi diatas maka salah satu isu yang masih menarik untuk kita diskusikan dewasa ini adalah tema-tema tentang kajian seni, budaya dan perubahan sosial (social change). Isu seni, budaya dan perubahan sosial (social change) merupakan salah satu diskursus yang mungkin kurang diminati bagi sebagian kalangan intelektual, cendikia dan para penggiat media. Kasus-kasus hukum, agama, politik serta urusan rumah tangga seperti isu perselingkuhan para artis-artis yang tersebar di bumi Nusantara ini lebih masuk dalam lirik-lirik kehidupan mayoritas penduduk bumi Nusantara ini.
Isu-isu seni, budaya dan perubahan sosial (social change) bagi kalangan tertentu diklaim sebagai diskusi yang kurang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan suatu bangsa. Seperti diskusi yang akan kita bahas pada kesempatan ini adalah tentang musik rock Indonesia. Dalam konstruk masyarakat yang tinggal dibumi nusantara ini bahwa musik-musik Indonesia tak ubahnya sebagai hiburan belaka. Tidak sedikit manusia-manusia di bumi nusantara ini, kurang peduli dengan pesan-pesan sosial yang melekat disetiap lirik-lirik lagu, terutama musik rock misalnya Group slank, Koil, Pas, Jamrud. Dalam studi sosiologi, musik rock memiliki dimensi kritik sosial dan dimensi dakwah ?.
Upaya menguak dunia subkultur anak muda Indonesia hari ini, dalam sejarahnya ada dua kurun waktu yang cukup penting untuk kita lihat yaitu era 1998 dan pasca-1998, atau lebih populer di kenal dengan istilah pra reformasi dan pasca-reformasi. Sejarah silam ini penting untuk kita refleksikan, karena bagaimanapun kondisi sosial sosial-politik sebagai habitat tempat sebuah generasi muda tumbuh sangat berpengaruh pada terbentuknya karakter, mentalitas dan attitude. Kondisi sosio-politi dibawah rezim orde baru yang dikenal dengan otoriter telah mampu merubahbentuk-bentuk ekspresi subkultur anak muda Indonesia. Perjalanan musik Indonesia pada era orde baru berjalan lurus dan searah sesuai dengan keinginan dan tekanan pemerintah.
Pada era 1990-an, setiap kita mendengar kata underground dan independent, seolah yang nampak dimata kita adalah musik metal, hardcore, punk, dan sejenisnya. Fashion sangar, rambut gondrong, celana butut dan sobek, sepatu bot, dan membuat orang yang melihat akan berpikir sebagai grombolan Underground. sekelompok pasukan manusia yang diJudgment sebagai pengganggu terhadap stabilitas sosial negara-bangsa, sehingga ruang ekspresi anak muda Indonesia dibatasi tidak heran jika dibatasi oleh pemeritah, ini terlihat jelas pada rezim orde baru yang terkenal brutal.
Dari situasi yang tidak menentu inilah, menjadikan subkultur anak muda Indonesia memiliki dialektika sendiri untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Negara yang seharusnya memberi ruang ekspresi menjadi terbalik dipenjara oleh para penguasa orde baru dengan tujuan utama adalah melanggengkan kekuasaannya. Musik rock dan sejenisnya oleh penguasa dinilai sebagai musik yang tidak merepresntasikan kepribadian dan identitas bangsa, padahal kita sendiri bingung, identitas bangsa Indonesia itu seperti apa.
Dalam sejarah perjuangan Musik rock Indonesi dan sejenisnya yang bisa kita refleksikan untuk kita sebagai generasi muda yang harus memiliki semangat dan kepedulian terhadap sesama sekaligus tanggungjawab moral pada bangsa ini misalnya dalam hal ini kita mencoba merefleksikan apa yang telah diperjuangkan oleh para penggiat musik rock Indonesia sseperti slank,Koil,Pas, Jamrud dan sejenisnya.
Mari kita refleksikan bersama hasil dari penelitian Dr. Abdullah Sumrahadi dengan perjuangannya dia mampu meraih gelar Doktor. Dia mencoba untuk membongkar serta memberi pemahaman yang lebih dialogis tentang perjalanan musik rock Indonesia dimana dia dengan tegas mengatakan seperti tertera dalam judu disertasinya “Menemukan Kritik Sosial Dan Kesadaran Kritis Pada Musik Rokck Indoensia” berikut cuplikan salah salah satu hasil penelitian Dr. Abdullah Sumrahadi yang saya kira unik dan menarik analisisnya : “Band beraliran rock menunjukkan adanya tanda-tanda dan kesadaran kritis terhadap suatu masalah sosial yang dialami oleh diri komposer atau musisi dan juga masyarakat luas. Misalnya, jika kita kembali memerinci apa yang sudah disajikan oleh Koil dalam album mereka yang berjudul Blacklight Shine On tahun 2008, menunjukkan adanya suatu kesadaran diri sebagai musisi dan bagian dari masyarakat. Melalui album itu Koil membuat lagu berjudul Sistem Kepemilikan, lagu itu memberikan gambaran tentang bagaimana kondisi dan pengaturan kepemilikan aset dan kekayaan bangsa. Kepemilikan dan kekayaan aset tersebut, harusnya menjadi bagian dari upaya menyejahterakan warga negara. Tetapi yang muncul justru pengelolaan dan kepemilikan aset kekayaan bangsa dikelola oleh asing. Pertanyaan kritis dari lagu tersebut, Sebetulnya apa yang kita miliki ? Tidak ada kebanggan terhadap diri sendiri ? Pertanyaan itu menyiratkan adanya kesadaran bahwa, musisi sebagai bagian dari kehidupan sosial dan bermasyarakat tahu ada ketidakberesan dalam mengelola aset yang bermanfaat bagi warga negara. Dan akhirnya muncul ketidakbanggaan terhadap diri sebagai warga negara. “Berlanjut pada lirik lagu lainnya dari Koil yang berjudul Ini Semua Hanyalah Fashion, memberikan gambaran bahwa pelayanan negara dan perilaku rakyatnya memiliki unsur-unsur linearitas. Melalui teks lirik mereka, Koil sedang menunjukkan bagaimana aparatur atau pemimpian negara memberikan keyakinan kepada publik untuk tahu dan mengerti langkah-langkah yang diambil oleh penguasa, bahwa menjual aset bangsa merupakan suatu progress dalam pembangunan kesejahteraan. Selain itu, Koil juga menunjukkan suatu kritik dan kesadaran bahwa, dalam diri mereka sebagai musisi dan juga yang dialami oleh sebagian masyarakat luas, ada suatu sikap inkonsisten. Sikap itu dapat ditunjukkan dari, bagaimana ketika mendengarkan dan melihat tayangan dari televisi yang berisi pernyataan dari penguasa, kita kemudian tergerak menjadi patriot penyambung lidah penguasa, dengan memberikan ulasan dan penjelasan lebih jauh dan rinci. Akhirnya membuat legitimasi bahwa, keterangan dan pernyataan dari pemerintah atau penguasa itu pas dan layak untuk dilaksanakan, dan kita sebagai warga negara tidak perlu untuk mengritisi bahkan menolaknya. Tetapi pada sisi yang lain, sebagian dari kita yang tadi memerankan diri sebagai patriot, sebenarnya tak lebih juga mengalami krisis figur dan kepemimpinan, sehingga untuk menjembatani krisis itu, sebagian dari kita mengidolakan selebriti dari suatu liputan majalah maupun televisi, seperti juga para penguasa yang mengidolakan para selebriti bukan para patriot yang konsisten dan bertanggungjawab terhadap amanah kekuasaan. “…Lewat teks lagu Gaya, Jamrud sedang menunjukkan suatu fakta bahwa, dalam masyarakat mulai berkembang dan tidak menganggap relasi seksual sesama jenis sebagai suatu masalah serius. Meskipun teks atau ujaran dari lagu tersebut berupa sindiran atas kesadaran sosial yang ditumbuhkan dari pengamatan para anggota Jamrud yang mencipta lagu. Pergeseran pemahaman dan perdebatan tentang upaya untuk saling memahami serta menghormati subyek pelaku model percintaan sesama jenis menunjukkan adanya pola perubahan sosial masyarakat yang bersumber dari pengarusutamaan studi transgender. Meskipun tidak semua masyarakat ikut terpengaruh dengan pengarusutamaan tersebut. Ada sebagian yang mampu menerima dan sebagian lain menolak, dan ada pula sebagian yang lain menjadikan hal tersebut sebagai bahan sindiran dan lelucon. Pada situasi terakhir ini Jamrud mengambil peran melalui sindiran yang dikemas lewat lirik bergaya satir sebagai edukasi seks lewat lagu. “…Maka Pas lebih berkonsentrasi pada persoalan penyimpangan kekuasaan, korupsi. Melalui lagu Jengah, Pas membangun kesadaran bahwa, mereka sebagai musisi merasakan adanya perilaku korupsi yang dilakukan oleh pejabat dewasa ini. Posisi Pas, selain intelektual kampus dan pemerhati sosial maupun hukum menempati ruang kritik yang sama. Selain itu, menunjukkan semangat dan perhatian musisi yang selama ini identik dengan penciptaan lagu-lagu melankolis ke dalam lagu-lagu bermuatan kritik anti terhadap korupsi. Lewat lagu Jengah, Pas mengilustrasikan apa yang mereka lihat dan perhatikan dari pelaku kekuasaan, pejabat didalamnya. Bahwa, korupsi, suap dan kebohongan dari penguasa menjadi hal yang wajar dipraktikan dalam dunia politik. Di luar kapasitas Pas dalam menulis lagu itu, komunitas (penggemar) mereka di Bandung telah membuat kampanye anti korupsi melalui kaos-kaos yang mereka disain. Kaos-kaos itu dibuat oleh jaringan produksi indie di dunia fashion dan dipasarkan melalui distro-distro. Hal tersebut menunjukkan adanya kesadaran kritis suatu komunitas dalam masyarakat yang memiliki sikap anti terhadap korupsi. Dan komunitas-komunitas tersebut berada dalam ruang musik rock yang diciptakan oleh musisi idola atau teman mereka. “Akhirnya Slank membuat semacam konklusi yang bisa mengaitkan kecurigaan Edane, dengan korupsi pada wakil rakyat di parlemen melalui lagu mereka yang berjudul Gosip Jalanan. Lagu tersebut mengumandangkan fakta yang selama ini terabaikan oleh jerat hukum. Gosip Jalanan seperti menjadi petunjuk bagi KPK untuk menjerat anggota Dewan Yang Terhormat ke dalam pasal-pasal Tindak Pidana Korupsi, selain juga menyinggung perasaan para anggota Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat. Lewat petikan lirik berikut, Kacau balau 2X negaraku ini // Ada yang tau mafia peradilan // Tangan kanan hukum di kiri pidana // Dikasih uang habis perkara // Apa bener ada mafia pemilu // Entah gaptek apa manipulasi data // Ujungnya beli suara rakyat // Mau tau gak mafia di senayan // Kerjanya tukang buat peraturan // Bikin UUD ujung-ujungnya duit // Pernahkah gak denger teriakan Allahu Akbar // Pake peci tapi kelakuan barbar // Ngerusakin bar orang ditampar-tampar, kita menjadi tahu apa yang menjadi perhatian Slank. 
Dari berbagai laporan media, kita tahu bahwa “perang” antara Slank dan koruptor di DPR bermula sejak 24 Maret 2008, pada saat anggota-anggota Slank datang ke gedung KPK. Kedatangan Slank ke KPK memang tidak ada kaitan langsung dengan suatu konser, tetapi mereka datang secara khusus untuk memberi dukungan kepada KPK agar korupsi tidak semakin merajalela. Dan pada saat hendak mengakhiri kunjungan, di lobi utama gedung KPK, Slank menggelar pertunjukan dengan tajuk “Bangkit Melawan Korupsi.” Dalam aksi sederhana tersebut Slank membawakan lagu-lagu mereka yang syarat muatan kritik birokrasi dan lainnya, termasuk Gosip Jalanan. Dalam konferensi pers sesaat ketika konser berlangsung Kaka, vokalis Slank berujar, “kita terus bernyanyi dan berusaha menyadarkan bahwa korupsi adalah kejahatan, pengkhianatan”. Dan akhirnya konser itu membuat wakil rakyat tidak nyaman. Oleh Badan Kehormatan DPR RI lagu Gosip Jalanan dianggap menyudutkan mereka para wakil rakyat. Ada grup band yang lagi aktif mendukung KPK, membuat lirik yang menyakiti lembaga DPR RI. Bunyi liriknya, DPR tukang buat UU dan korupsi.
Faktas sejarah perjuangan para musisi-musisi Indonesia jika coba dikaji dari masa Orde Baru hingga sekarang dapat dipahami sekaligus perlu diapresiasi apa yang telah dilakukan oleh para musisi Indonesia dalam upaya mengawal perubahan lewat seni dan budaya Industri Musik. Semangat kritik sosial dan kesadaran kritis tentang posisi musik rock Indonesia secara lebih ilmiah telah mampu di buktikan kepada halayak lewat penelitian disertasinya oleh salah satu tokoh Sosiolog yakni Dr. Abdullah Sumrahadi yang memiliki kepedulian pada kajian seni dan budaya. Manusia ini adalah salah satu sosok intelektual dari sekian intelektual yang tersebar dibumi Nusantara ini yang peduli pada perjuangan pasukan musik rock Indonesia.

“Nikah Biologis” dan “Nikah Sosiologis”

Menikah secara sosiologis memiliki dampak besar di era sekarang ini.  Menikah Sosialogis yang saya maksud adalah cara menikah yang  sesuai  undang-undang negara. Namun juga memiliki dampak sosial yang cukup besar apabila terjadi persoalan. Sedangkan menikah biologis merupakan cara menikah yang hanya mementingkan sisi biologis tanpa memperdulikan sisi sosiologisnya.
Membaca tulisan seputar hubungan sosial suami isteri memaparkan banyak masalah dalam hubungan sosial bernama pernikahan. 10 problem pernikahan misalnya, menjadi persoalan yang menjadi bumbu dalam pernikahan. Mereka yang mampu bertahan dalam hubungan sosial berkekuatan hukum ini akan langgeng dan dikenal dengan sebutan : sakinah, mawaddah warohah (tenang, tentram dan berdaya guna).
Kenapa pernikahan sosiologis berdampak besar, tidak lain karena hal-hal berikut ini : Terbelenggu oleh adat istiadat. Misalnya adat Jawa dan Sunda berbeda begitu juga dengan adat lainnya. Terkondisi dengan persoalan beda karakter antara dua pasangan. Men-sikron-kan dua kubu ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Pendekatan cara pandang ini membuat pasangan seringkali harus bertahan dan mengalah antara mau-ku dan mau-mu bersatu. Kondisi ini pun kadangkala membawa dampak sosial yang cukup besar, yakni perceraian.
Persoalan Ekonomi. Tidak bisa dipungkiri, kadangkala isteri yang mapan menjadi masalah besar saat disatukan dengan suami yang minus penghasilan. Ujung-ujungnya tuntutan dan hambatan kerapkali menjadi pemicu bubarnya sebuah pernikahan sosial.
Persoalan Keluarga. Hal yang sepele kadangkala menjadi besar saat perbedaan kultur dibenturkan. Jika salah satu tidak mengalah, maka kendala besar menghadang berikutnya.
Dan masih banyak lagi yang lainnya seperti perselingkuhan, beda usia, beda pendidikan dan perbedaan lainnya.
Lalu bagaimana dengan menikah biologis ? Menikah bilogis yang saya maksud adalah menikah yang lebih menitik beratkan kepada persoalan hubungan biologis semata antara kedua pasangan. Menikah model ini banyak sekali dijumpai dengan berbagai istilah.
Kawin Siri adalah bentuk pernikahan tanpa kekuatan hukum. Sang pasangan dinikahkan oleh orang yang dianggap mampu menikahkan pasangan yang tengah jatuh cinta. Macam nikah siri bervariasi, ada yang membutuhkan saksi ada pula yang tidak membutuhkan saksi. Keduanya sama-sama tidak berkekuatan hukum. Namun jenis pernikahan biologis ini banyak dijumpai dalam sekat-sekat gelap. Maklum, karena namanya juga sirri (rahasia).
Kawin kontrak adalah jenis pernikahan yang saya golongkan jenis pernikahan biologis. Seorang laki-laki menikahi wanita yang diinginkanya hanya semata-mata karena penayuluran libido. Jenis pernikahan inipun tidak dicatat dalam akta nikah, sehingga tidak ada kekuatan hukum. Jika kontrak habis, maka habislah hubungan biologisnya, dan perlu diperbarui kembali jika ingin menikah lebih lanjut.
Poligami, inipun saya masukkan  jenis pernikahan bilogis. Karena tidak ada dasar hukum yang melandasi pernikahan poligami apalagi jika seorang pejabat negara, maka poligami tidak diundangkan. Karenanya, jika seorang laki-laki ingin menambah isterinya maka jalan yang dilakukan adalah nikah sirri. Tentu saja, tujuan dari nikah siri ini pun adalah demi kepuasan biologis.
Menikah bawah tangan, pernikahan jenis ini pun masuk kategori pernikahan biologis. Macam-macam  jenis pernikahan biologis ini justru dianggap  ”aman” dalam tataran biologis dan sosial. Para suami jenis nikah biologis merasa terpuaskan dengan adanya saluran syahwatnya kepada perempuan lain yang juga dianggap sah secara agama tertentu. Dampak sosialpun berusaha dihindarinya, demi kepuasan dan ketenangan urusan satu itu.
Namun jika  jenis pernikahan biologis ini sampai terkuak maka dampak sosialnya lebih besar. Maka banyak warga masyarakat yang menentangnya dan siap-siap saja pelaku pernikahan biologis ini dicerca habis-habisan oleh masyarakat. Teringat seperti kasus dai kondang yang menjadi bulan-bulanan karena melakukan jenis pernikahan biologis ini.
Jika saja pernikahan biologis itu pinter mengemasnya mungkin “aman” dan tanpa dampak sosial yang lebih besar. Akan tetapi rasa was-was tentu mengganggu setiap jenis pernikahan ini karena masalah dampak sosialnya, belum lagi jika harus berhadapan dengan hukum sebab masyarakat kita masih sangat peduli dengan orang lain terutama jika kepada hal-hal yang dianggap berbeda kulturnya.

Perspektif Metateori Pemikiran Peter L. Berger

Indonesia hari ini adalah Indonesia tanpa sosiologi, dimana, dimensi politik telah mengalami distorsi dalam ranah demokrasi yang juga tinggal sebagai barang antik dikala modernitas semakin tampil sebagai sosok yang ingin menjadi benteng kebebasan individu. Artinya demokrasi yang tengah kita genggam adalah demokrasi yang tengah mengalami amnesia dan menjadi barang antik dalam logika kekinian.
Dalam situasi negeri yang amat mencemaskan ini, saat ilmu sosial menjadi begitu meng’angka atau sebaliknya mem’batin’, maka lahirnya sebuah buku yang memerikan perspektif metateori pemikiran Peter L. Berger, menjadi sebuah oase yang memberikan sentuhan aroma kesejukan.
Dalam tangan Berger, ilmu sosial telah dikembalikan pada induknya, yaitu filsafat. Buku ini menjadi penting, karena Geger Riyanto, sang penulis yang alumnus Fakultas Sosiologi UI ini, menjelaskan betapa penting dan relevannya berusaha memahami analisa metateori dari pemikiran sosiologis. Ini adalah sebuah usaha yang merupakan perintisan akan signifikansi teori dan konsep sebagai kerangka acuan berpikir.
Kesadaran dan struktur dalam modernisasi tak bisa diekslusifkan satu sama lain. Kesadaran menghasilkan struktur modernitas. Masyarakat modern ini dihasilkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran modern. Itulah momen eksternalisasi. Struktur modernitas mencapai sebuah kenyataan objektif. Pranata-pranata modern menjadi kenyataan yang bergerak sendiri, lepas dari kesadaran penghasilnya dan menghadapi manusia modern sebagai objek. Itulah momen objektivasi.
Akhirnya, kesadaran membatinkan struktur objektif itu. Itulah momen internalisasi yang dalam modernisasi menemui kesulitan-kesulitan yang disebut “abstraksi”. Dalam era post-metafisika ini, kita tidak mungkin kembali pada idealisme Hegel ketika kita merefleksikan modernitas dengan model dialektis.
Dengan Triad Peter L. Berger ini kita menemukan bahwa sebuah sintesis absolut dan final tidak dicapai sebagaimana dibayangkan dalam model dialektika Hegel. Kesulitan-kesulitan internalisasi ini, yakni momen sintesis dalam model dialektika, justru merupakan tanda bahwa kesadaran atau pikiran manusia tidak pernah mapan bersarang dalam pranata-pranata yang dihasilkan sendiri.
Hanya soalnya, dalam modernisasi, kesukaran mencapai momen sintesis ini menghasilkan berbagai macam pengalaman negatif, seperti: alienasi, hilangnya makna, impersonalisasi, disorientasi, dan seterusnya. “Kesadaran tak bersarang” tidak hanya menampilkan kebebasan, namun juga keletihan mengembara dalam ketandusan panata-pranata modern. Momen antitesis, yakni objektivasi itu, menjadi demikian dominan, sampai kita dapat mengatakan bahwa manusia diserap oleh kekuatan-kekuatan lingkungan lahiriahnya.
Tidak begitu jelas, apakah gejala ini merupakan tanda-tanda kembalinya kekuasaan mitologis dalam sosoknya yang “modern”. Sehingga, seperti pada zaman pra-modern, manusia dikepung kembali oleh kekuatan-kekuatan impersonal di luar dirinya. Kalau benar demikian, apakah suatu gerakan kontra-modernitas dapat dipandang sebagai fajar dimulainya tesis baru, yaitu eksternalisasi baru ?.
Agaknya Triad Berger tidak bisa menjelaskan ke arah mana dialektika akan dimulai lagi. Kita berdiri di tengah-tengah tantangan untuk menghimpun kekuatan-kekuatan kritis kesadaran manusia.
Masyarakat modern bukan hanya hidup dalam megapolis-megapolis tetapi juga megastruktur-megastruktur. Dalam situasi semacam ini, hubungan-hubungan diatur menurut prosedur-prosedur formal dan birokratis, maka nilai intrinsik individu menjadi lenyap. Dia bukan lagi suatu “siapa” dalam megastruktur itu, melainkan merupakan “suatu apa”, yakni bukan seorang pribadi melainkan suatu fungsi.
Dengan bertambahnya distansi sosial, para birokrat tampil sebagai wujud-wujud simbolis dan anonim dengan otoritas yang sulit dipahami namun memaksa dengan kesan-kesan metafisis. Kita bisa mengatakan bahwa birokrasi berupaya menenun jaringan interaksi yang utuh, tetapi jaringan itu lebih bersifat struktural daripada kultural. Lebih formal daripada substansif.
Di dalam relasi-relasi struktural itulah individu justru mengembangkan jatidirinya secara majemuk sesuai dengan tuntutan lingkungan lahiriahnya. Terjadilah perpecahan antara “dirinya” dan aneka perannya yang terbuka terhadap konflik satu sama lain. Makna jatidirinya menjadi kabur. Ketidakmampuannya untuk membatinkan lingkungan lahiriahnya secara aktif ini, menyebabkan manusia¾yakni makhluk ganda internus-eksternus¾diserap ke kutub eksternusnya.
Dalam momen terakhir Triad Berger ini kita bisa mengatakan bahwa manusia modern justru mengalami kesulitan internalisasi. Akibatnya dia malah menjadi objek sistem-sistem objektif yang diciptakannya. Momen objektivasi masih berdiri tegar di luar kontrol kesadaran lebih lanjut, yakni momen internalisasi.
Individu tidak berfikir melainkan ada sesuatu yang berpikir dalam individu, yakni megastruktur itu. Sementara itu, sebagai tempat pengungsian dari megastruktur yang terus-menerus mendesaknya sebagai “bukan siapa-siapa”, dunia kehidupan privat menyediakan ruang tatap muka yang masih bersifat kongkret, afeksional, dan langsung.
Di dalam masyarakat multi-religi dan multi-etnis seperti Indonesia ini, ruang hubungan-hubungan kongkret yang lebih luas juga disediakan oleh ikatan-ikatan primordial. Karena itu, primordialisme berfungsi seperti privatisme dalam skala lebih luas.
Privatisme adalah penarikan diri dari sifat abstark masyarakat sampai menjadi apatis dan apolitis terhadap masyarakat luas. Sementara itu primordialisme juga merupakan penarikan diri, bukan dari masyarakat, melainkan dari sebuah kerangka abstrak yang bernama nasionalitas. Meski demikian, privatisme dan primordialisme memungkinkan manusia untuk mereguk makna untuk kelangsungan hidupnya di dalam megastruktur yang hampa makna.
Reaksi atas hasil objektivasi itu dimungkinkan karena kesadaran bukan hanya hasil mengadaptasi, melainkan juga bisa “mentransendir diri”. Dua bentuk reaksi yang mungkin adalah memberontak atau menarik diri.
Berger mengasumsikan bahwa, karena manusia memiliki kehendak bebas dan kemampuan berpikir rasional untuk menyelesaikan persoalannya, maka, keteraturan dalam masyarakat memiliki sifat-sifat subyektifnya pula. Inilah yang mendorong manusia membentuk struktur melalui proses institusionalisasi dalam menyelesaikan persoalannya.
Sayangnya, cara-ara manusia mengatasi persoalannya berbeda-beda, karenanya pola dan tindakan yang terbentuk menjadi struktur sosial yang berbeda-beda pula, bergantung pada sejarah lokal. Akibatnya struktur sosial memiliki konteks yang mengandung makna yang intersubyektif yang hanya bisa dipahami oleh kelompok manusia yang mengkonsensuskannya. Pemikiran Berger ini memiliki posisi khusus dalam horizon sosiologi. Pemikiran Berger tidak terletak pada arus pemikiran yang berparadigma individualisme, melainkan lebih sebagai teori pada tingkatan mikro. Kelak memang ia lebih dikenal sebagai filsuf yang mematangkan fenomenologi sosiologis.
Cita-cita Berger adalah melahirkan masyarakat yang teratur lewat keteraturan pemikiran. Dengan begitu, maka status ontologis dari struktur sosial akan semakin kuat, dan itu direfleksikan dalam struktur sosial yang semakin nyata. Dalam kaitan dengan sebuah tatanan masyarakat itu, tesis Berger yang utama adalah dalam menempatkan masyarakat sebagai realitas yang obyektif yang lahir melalui keteraturan pemikiran.
Dalam konteks Indonesia kekikinian, metateori pemikiran Berger menjadi sangat relevan jika kita memang tengah mencari jalan tengah emas, Via Media Aura. Yaitu ketika para elit politik dan pemimpin bangsa sama-sama tidak mampu melakukan abstraksi tentang Indonesia kekinian dan yang akan datang.