Jumat, 19 Juli 2013

Caleg dan Sedot WC, Gerayangi Pohon Pelindung

Tahun 2013 adalah tahun politik, partai partai politik sudah mulai memperkenalkan para calon-calon (yang katanya akan mewakili rakyat). Namun setiap tahun politik, lingkungan hidup pun merana olehnya. Terutama pohon-pohon pelindung, tiang telepon, tiang listrik, telepon umum, kawasan hijau kota, dan tempat-tempat umum lainnya. Fenomena itu selalu saja terjadi tanpa ada yang peduli, bahkan KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum terkesan selama ini menganggap hal biasa masalah itu, bahkan pemerintah kota/kab sebagai pemilik wilayah terkesan membiarkan, padahal jelas-jelas telah mengganggu ketentraman masyarakat dan merusak lingkungan, apalagi dengan mempaku alat peraga parpol beserta calegnya di pohon-pohon.
Bayangkan setiap tahun politik itu akan ada lebih dari 5000 orang yang “melamar pekerjaan menjadi wakil rakyat” masing-masing dari mereka menyebarkan lebih kurang 1000 alat kampanye, kalikan saja berapa pohon yang akan terpaku oleh para caleg dan partai-partai itu.
Wajah caleg di pohon itu sepertinya mengikuti trend iklan gratis yang dilakukan oleh banyak pengusaha sedot wc yang banyak memanfaatkan pohon-pohon sebagai media untuk mengkampanyekan pekerjaannya. Demi berburu iklan gratis, akhirnya para caleg-caleg ikut-ikutan untuk menggerayangi pepohonan di pinggir jalan.
Caleg-caleg yang mengkampanyekan dirinya melalui iklan gratis dengan memaku wajahnya di pohon-pohon pelindung, perlu diragukan komitmennya untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik. Buktinya belum lagi menjadi caleg sudah merusak lingkungan, so tetap mau pilih si caleg sedot WC???.
Momen tahun politik ini seharusnya dimanfaatkan oleh partai-partai dengan meminta para calegnya untuk membuka paku dan mencabut wajah-wajahnya disederatan pepohonan pelindung di jalan-jalan, selain itu KPU sebagai penyelenggara pemilu, ya jangan hanya jadi panitia penyelenggara saja, tetapi juga harus memikirkan bagaimana kampanye dan publikasi para caleg dan partai tanpa merusak lingkungan.

Upaya Menyikapi "Perang Politik" Media Jelang 2014


Perang politik di media massa menjelang Pemilu 2014 akan semakin panas dibandingkan dengan edisi pesta demokrasi lima tahunan sebelumnya, karena terdapat sejumlah politisi yang memiliki media di Tanah Air.

Anggota Dewan Pers Nezar Patria menilai pada Pemilu 2014 perang politik di media akan semakin terasa lebih ketat dibanding pemilu edisi lima tahun sebelumnya. "Terlebih kini beberapa capres-cawapres adalah orang-orang yang menjadi pemilik korporasi media," katanya di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Nezar, media akan terus menjadi "outlet etalase" partai politik dalam memperkenalkan dirinya kepada publik. Tinggal nanti bagaimana partai mampu mengemas iklannya dengan cara kreatif dan efektif dalam menarik minat publik.

Di satu sisi partai membutuhkan publikasi, sedang media akan mendapatkan pemasukan dari ruang iklan yang dijual. Namun pemilik dari media akan memiliki keleluasaan yang lebih dalam menyiarkan iklan yang terkait dengan partai atau dirinya.

Nezar mencontohkan beberapa pemilik media yang berhasil dalam kancah politik hingga meraih kekuasaan di dunia pernah terjadi di Italia dengan Silvio Berlusconi atau di Thailand ada Thaksin Shinawatra, sehingga Indonesia akan bisa menjadi seperti tersebut.

Tanda-tanda kondisi ini terlihat adanya para pemilik media yang mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) merupakan pemilik televisi yang menjadi media primadona dalam pemilu.

"Berkaca dari pemilu sebelumnya, belanja iklan pada pemilu banyak tersedot ke televisi sekitar 90 persen sedangkan sisanya ke media lain seperti cetak, radio dan jenis lainnya," katanya.

Dengan demikian, Media akan semakin memiliki peran sentral dalam mengelola kebutuhan publik mengenai informasi Pemilu 2014.

Media harus proporsional

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Mochamad Riyanto mengatakan, pemilik media massa tidak boleh sesuka hati memberikan proporsi penyiaran untuk kegiatan politik meskipun terlibat secara langsung di parpol.

"Pemilik media tidak bisa secara langsung dan seenaknya melakukan itu. Dalam kaitannya untuk mendominasi parpol-parpol tertentu, harus berdasarkan pada asas adil dan seimbang," katanya.

Riyanto mencontohkan, KPI, sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai regulator penyelenggara penyiaran, pernah memanggil direksi sejumlah stasiun televisi swasta terkait dengan konten penyiaran kegiatan politik tidak berimbang.

Menurutnya, para pemilik stasiun televisi tersebut mengaku telah berimbang terhadap kegiatan parpol dalam konteks pemberitaan.

Namun, terkait dengan upaya promosi dan kampanye parpol, maka mereka berlindung pada ketiadaan peraturan yang mengikat kegiatan upaya pemenangan Pemilu 2014 itu.

"Mereka mengaku sudah berimbang untuk pemberitaan. Kalau soal iklan kampanye dan kandidat (capres), memang ketentuannya belum diatur oleh KPU," jelasnya.

Sementara itu, Pemimpin Redaksi MNC TV Ray Wijaya mengatakan program berita di televisi tempatnya bekerja tidak diarahkan oleh sang pemilik melainkan lebih dipengaruhi oleh program.

"MNC TV tidak bisa serta merta menyuguhkan acara ataupun iklan dengan materi yang berat mengingat segmen pemirsa kami merupakan kalangan menengah ke bawah. Sedikit saja kami salah memasang program atau berita maka bagian pengatur jadwal siaran belum tentu meluluskan," kata dia.

Menurutnya, materi politik di media tempatnya bekerja tidak bisa sembarangan dimasukkan. Karena risiko yang diambil jika memaksakan program tertentu adalah dapat kehilangan pemirsa yang jengah dengan acara yang tidak sesuai keinginan mereka.

"Acara televisi itu lebih banyak dipengaruhi oleh rating dan keinginan pemirsa. Singkatnya mereka lebih menyukai hal-hal yang bersifat hiburan daripada menayangkan acara politik yang kurang mereka gemari," ujarnya.

Peraturan kampanye pemilu

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat Hadar Nafis Gumay mengaku bahwa peraturan terkait dengan pedoman pelaksanaan kampanye parpol masih dalam tahap pembahasan.

KPU berupaya menerapkan asas keadilan sebagai elemen penting dalam implementasi kampanye dan iklan parpol maupun caleg.

"Contohnya,  pemasangan iklan di papan baliho juga harus dibatasi sehingga jangan hanya dikuasai oleh parpol atau caleg berduit saja. Oleh karena itu, teknisnya perlu dihitung berapa banyak baliho yang ada, lalu dibagi rata berdasarkan jumlah parpol atau caleg," kata Hadar.

Sebelumnya diberitakan, sejumlah parpol peserta Pemilu 2014 memiliki andil besar di dalam perusahaan media massa sehingga secara otomatis kepentingan parpol tersebut berpengaruh di dalam kegiatan penyiaran.

Yang terakhir adalah deklarasi Partai Hanura dalam mengusung Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo, pejabat eksekutif tinggi (CEO) Grup MNC, ditayangkan secara langsung oleh stasiun televisi swasta milik grup tersebut.

Selain itu, juga publik sering dipertontonkan aktivitas politik Partai NasDem di stasiun televisi swasta milik Ketua Umum Surya Paloh serta Partai Golkar di televisi milik Ketua Umum Aburizal Bakrie.

Oleh karena itu, diperlukan peraturan dan pengawasan ketat terhadap gerak gerik politik menjelang Pemilu 2014, demikian Hadar Nafis Gumay.

Selasa, 02 Juli 2013

Pilgub Minimalis di Jatim

Tenyata tak hanya soal rumah saja kita mengenal konsep minimalis. Rumah minimalis lagi ngetrend dalam 5 tahun terakhir. Dengan lahan yang tak begitu luas, arsitek rumah mampu mendesain postur rumah yang efektif, efisien, dengan fungsi optimal. Selain itu, dari aspek estetika, rumah itu sedap dipandang mata dan menunjukkan modernitas. Konsep rumah minimalis cocok diterapkan di kawasan kota besar, yang memiliki lahan terbatas dengan harga tanah sangat mahal. 

Konsep minimalis itu tak hanya berlaku dalam urusan membangun rumah. Pilgub Jatim 2013 ini, oleh sebagian kalangan, disebut-sebut sebagai pilgub minimalis. Hal itu setidaknya dibandingkan dengan Pilgub Jatim 2008/2009 lalu yang berlangsung 3 putaran dan menghabiskan anggaran hampir Rp 1 triliun. 

Kenapa Pilgub Jatim 2013 ini disebut minimalis ? Pertama, Pilgub Jatim 2013 ini relatif sepi media peraga luar ruang. Bando, baliho, spanduk, umbul-umbul, dan jenis media peraga lainnya, dengan konten menyosialisasikan nama calon dan partai pengusungnya, tak sesemarak dibanding menjelang Pilgub Jatim 2008/2009. 

Pengamatan penulis di kawasan Surabaya dan Gresik nyaris tak ada media peraga dalam ukuran signifikan para bakal cagub-cawagub Jatim. Yang terpampang cukup banyak adalah spanduk milik pasangan PDIP Bambang DH-Said Abdullah dengan tagline 'Jempol'. Sedang duet petahana Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa) dan Khofifah Indarparawansa-Herman S Sumawiredja (Berkah) relatif tak banyak memanfaatkan media peraga luar ruang secara masif. 

Kedua, tingkat kualitas kompetisi dan kontestasi politik Pilgub Jatim 2013 ini tak seketat dibandingkan dengan Pilgub Jatim 2008/2009. Ibaratnya, pada Pilgub Jatim 2008/2009 lalu, para kontestan berangkat dari titik start yang sama. Sebab, tak ada petahana yang ikut berkontestasi. Sedang Pilgub Jatim 2013 ini, antara keempat bakal cagub-cawagub berangkat dari titik start yang tak sama. Duet Pakde Karwo-Gus Ipul sebagai calon petahana hakikatnya telah melakukan sosialisasi dan 'kampanye' program pembangunan dan pemerintahan yang dikelolanya sejak kali pertama dilantik sebagai gubernur-wagub Jatim pada Februari 2009 lalu. 

Ketiga, kemungkinan besar Pilgub Jatim 2013 yang berlangsung minimalis hingga saat ini, karena belum ada cagub-cawagub yang ditetapkan secara final oleh KPU Jatim. Duet KarSa dan Bambang-Said kemungkinan besar bisa lolos verifikasi KPU Jatim tanpa menyisakan problem serius. Tapi, bagi pasangan Berkah dan Eggi Sudjana-M Sihat, peluang mereka lolos verifikasi KPU Jatim masih fifty-fifty. Berkah diharapkan pada dualisme dukungan politik PK dan PPNUI, karena kedua partai ini juga mendukung duet KarSa. Pasangan Eggi-Sihat juga dihadapkan pada persoalan pemenuhan syarat dukungan minimal yang absah berdasar peraturan perundang-undangan sebagai calon dari jalur independen. 

Keempat, tempo Pilgub Jatim 2013 sangat dekat dengan agenda perhelatan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014. Sehingga konsentrasi partai dan elitenya terpecah dan tak utuh. Mungkin mereka lebih mengonsentrasikan sumber daya politiknya (anggaran, strategi politik, jaringan kader dan pendukung, dan lainnya) untuk kepentingan Pileg 2014, bukan pada Pilgub Jatim 2013. Karena Pileg 2014 ini tak sekadar menentukan nasib partai, tapi juga karir ke depan masing-masing elite parpol yang menjadi caleg. Di sisi lain, agenda Pilgub Jatim hakikatnya lebih banyak memperjuangkan kepentingan personal elite calon (cagub dan cawagub) yang kemungkinan besar manfaat politiknya kurang bisa dirasakan secara langsung para elite masing-masing parpol. 

Terakhir, dalam perspektif psikologi-politik, pengalaman Pilgub Jatim 2008/2009 yang berlangsung 3 putaran dan menghabiskan ongkos finansial-politik hampir Rp 1 triliun, memberikan implikasi politik hingga menjelang Pilgub Jatim 2013 dihelat. Pilgub Jatim 2008/2009 yang mengharu-biru itu merupakan kontestasi politik paling mahal di Indonesia dalam perspektif pilgub dan menyisakan luka politik yang belum benar-benar sembuh hingga sekarang. Buktinya, di banyak kesempatan, Khofifah Indarparawansa sebagai kompetitor KarSa di 3 putaran Pilgub Jatim 2008/2009 merasa bahwa kontestasi politik itu berlangsung tak fair dan diwarnai kecurangan. 

Kelihatannya kombinasi antara faktor kebutuhan internal elite dan parpol, minimnya sumber daya finansial politik, mepetnya tempo Pilgub Jatim 2013 dengan Pileg 2014, dan trauma politik Pilgub Jatim 2008/2009 mengakibatkan Pilgub Jatim 2013 ini iklim politiknya lebih teduh dan dingin. Hingga 2 bulan menjelang hari H pencoblosan Pilgub Jatim 2013, nyaris tensi politik Jatim bergerak di tataran normal dan dinamika politiknya stagnan. 

Fenomena politik ini terbentuk, apakah karena warga Jatim acuh dengan agenda Pilgub Jatim 2013 ? Ataukah ada 'kekuatan besar' yang menskenario agar Pilgub Jatim 2013 ini berlangsung dengan prinsip diam tapi sukses. Tentunya dengan tetap merujuk pada aturan main yang ada, berlandaskan pada nilai sopan santun, adat tata krama dan perilaku beradab, sehingga Pilgub Jatim 2013 ini akan mampu terhindar dari suasana 'kebat-kliwat' pada setiap tahapannya.

Politik Dinasti, Politik Warisan

Dinasti politik Yudhoyono di panggung politik Indonesia tampaknya terus dikonsolidasikan. Masuknya Jenderal Purnawirawan Pramono Edhie Wibowo, mantan Kepala Staf Angkatan Darat, dalam struktur Dewan Pembina DPP Partai Demokrat, disebut-sebut sebagai munculnya dinasti politik baru di panggung politik Indonesia. Sebelum itu, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), anak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang diangkat sebagai Sekjen DPP Demokrat. Posisi Ibas tetap tak goyang ketika partai ini diterjang prahara politik internal. 

Baik Ibas maupun Pramono masuk ke struktur puncak Demokrat tanpa harus terlebih dulu menapaki jenjang karir politik dari bawah. Keduanya menjadi keluarga inti SBY, pendiri sekaligus ketua umum Demokrat hasil KLB Bali beberapa bulan lalu. Ibas adalah anak SBY buah pernikahannya dengan Ani Yudhoyono, anak mantan Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edi Wibowo. Sedang Pramono Edhie bergerak dari jajaran samping nasab keluarga besar SBY. Dia adik Ani Yudhoyono, sehingga merupakan adik ipar SBY. 

Di ranah politik nasional dan internasional, dinasti politik merupakan fenomena nyata kendati tak ada yang bersifat kekal. Di Indonesia, lama kita mengenal dinasti Soekarno, proklamator dan presiden pertama RI. Dari 5 putra-putrinya buah pernikahannya dengan Fatmawati, anak Soekarno bernama Megawati Soekarnoputri yang pernah menapaki jejak politik ayahnya. Mega pernah menjabat Presiden RI kelima sejak 2001- 2004 dan kini menjadi ketua umum DPP PDIP. Karir politik Mega dibangun dari bawah sejak PDIP masih bernama PDI. Istri Taufik Kiemas (almarhum) ini pernah menjabat ketua DPC PDI Jakarta Selatan sebelum terpilih sebagai ketua de facto PDI hasil KLB Surabaya pada awal tahun 1990-an. 

Selain Mega, ada nama Guruh Soekarnoputri yang terjun di ranah politik. Karir dan jalan politik Guruh berjalan seiring dengan Mega. Keduanya sama-sama aktif di PDI dan berlanjut ke PDIP pasca-reformasi 1998. Dua putri Bung Karno lainnya, Sukmawati dan Rahmawati, karir politiknya tak secerah dan selapang Mega dan Guruh. Sukma dan Rahma pernah membentuk partai berpaham Nasionalis, kendati partainya kandas dan tak memperoleh dukungan politik signifikan pada pesta demokrasi rakyat (Pemilu). 

Tak hanya dari keluarga Soekarno, dinasti politik juga coba dibangun Soeharto. Ketika berada di tampuk kekuasaan Orde Baru, terutama di pada akhir tahun 1980-an hingga menjelang reformasi, sejumlah anak Soeharto aktif di Golkar. Ada Mbak Tutut dan Bambang Trihatmodjo yang duduk di kursi pengurus harian Golkar. Mbak Tutut di era kepemimpinan Harmoko sebagai ketua umum Golkar menjabat salah satu ketua DPP Golkar yang bertanggung jawab untuk pemenangan partai ini di Pulau Jawa: kawasan politik dengan jumlah penduduk dan konstituen terbesar di Indonesia. Saat ini, ada putri Soeharto lainnya: Titik Soeharto, menjabat pengurus harian Partai Golkar di bawah Ketua Umum Aburizal Bakrie (Ical) dan mantan menantunya Prabowo Subianto, anak Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo kini bakal running sebagai bakal capres Partai Gerindra. Prabowo pernah kandas di ajang Pilpres 2009 saat tandem dengan Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres.

Apakah dinasti SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi dinasti politik ketiga yang lahir di ranah politik Indonesia ? Waktu yang mampu menjawabnya secara pasti. Pramono Edhie Wibowo dan Ibas sebagai representasi politik keluarga besar Yudhoyono memang diharapkan mampu meneruskan warisan politik keluarga terkait dengan Partai Demokrat. SBY adalah pendiri, ikon, dan pemegang saham politik paling absah Partai Demokrat dibanding elite politik lain dari partai ini. 

Di level politik internasional, dinasti politik bukan menjadi fenomena khas dan khusus negara-negara sedang berkembang. Di Amerika Serikat kita mengenal dinasti politik Kennedy, Bush, dan Clinton. John F Kennedy pernah menjadi presiden Amerika Serikat 1960-1963 sebelum menemui kematiannya karena ditembak. Banyak keluarga besar Kennedy yang pernah menempati posisi strategis dalam politik praktis Amerika Serikat, di antaranya jabatan jaksa agung dan senator sejumlah negara bagian di negeri Paman Sam tersebut. 

Pun demikian dengan dinasti Bush. George Bush pernah menjabat Wakil Presiden Amerika Serikat era Presiden Ronald Reagen (Partai Republik). Setelah Reagen mengakhiri masa jabatannya di periode kedua kepemimpinannya, George Bush tampil sebagai Presiden AS. Keluarga Bush dikenal memiliki hubungan dekat dengan keluarga Ibnu Saud, penguasa Kerajaan Arab Saudi karena faktor bisnis migas dan implementasi prinsip Oil for security policy serta faktor lainnya. Jejak George Bush menjadi Presiden AS diteruskan George Walker Bush (Partai Republik) yang menjabat Presiden AS dua periode. Selain itu, di Amerika Serikat ada keluarga Clinton, di mana Bill Clinton (Partai Demokrat) pernah dua kali menduduki jabatan Presiden AS dan istrinya, Hillary Clinton menduduki posisi Menteri Luar Negeri di era pertama kepemimpinan Presiden Barack Obama. 

Di negara berkembang, dinasti politik bisa kita temukan di India, Philipina, Pakistan, dan lainnya. Jawaharlal Nehru pernah memimpin India dalam tempo lama hingga tahun 1964 sebagai perdana menteri. Setelah kematian Nehru, Lal Bahadur Shastri mengambil alih kursi kepemimpinan pemerintahan India. Kenyataannya, pemerintahan Lal tak berlangsung lama. Pada 1966, Shastri meninggal secara misterius. Kelompok konservatif di Partai Kongres menobatkan Indira Gandhi sebagai pemimpin India. Indira Gandhi menjadi wanita besi dalam menjalankan kepemimpinannya. Dia sama sekali tidak bisa didikte kubu konservatif di Partai Kongres India.

Setelah Indira Gandhi terbunuh oleh pengawalnya sendiri, posisi digantikan anaknya, Rajiv Gandhi. Dia juga menemui ajal seperti ibunya akibat bom bunuh diri. Dinasti politik Gandhi selama 65 tahun kemerdekaan India nyaris mendominasi politik India. Jawaharlal, Indira, dan Rajiv pernah menduduki jabatan Perdana Menteri India. Partai Kongres yang dibesarkan Gandhi dipimpin Sonia Gandhi, janda mendiang Rajiv Gandhi. Generasi keempat Gandhi tak lagi menarik untuk "dijual" ke konstituen India. Rahul Gandhi, putra Rajiv Gandhi, yang digadang-gadang menggantikan Sonia, tak mampu memenangi hati rakyat. Pemilu Maret 2012, Partai Kongres mengalami kekalahan memalukan di negara bagian Uttar Pradesh. 

Di Pakistan juga ada dinasti politik keluarga besar Bhutto. Zulfikar Ali Bhutto pernah lama menduduki posisi kursi Perdana Menteri dari negeri pecahan India yang mayoritas warganya beragama Islam itu, sebelum akhirnya menemui ajal akibat hukuman gantung yang harus dijalani saat Pakistan di bawah pemerintahan Presiden Zia Ul Haq. Jejaknya di jalur politik diikuti putrinya, Benazair Bhutto, politikus wanita Pakistan yang berpendidikan modern di Inggris. Sayang, Benazir menemui ajalnya secara tragis akibat bom bunuh diri warganya ketika sedang kampanye pemilu. 

Politik dinasti merupakan fenomena global. Namun demikian, politik dinasti seringkali dipertentangkan secara dikotomis dengan meritokrasi: Sistem yang menekankan untuk memberi tempat kepada mereka yang berprestasi tampil sebagai pemimpin politik. Politik dinasti dekat dengan nepotisme, karena garis nasab (keturunan) dan membuka peluang terjadinya kolusi politik. Politik dinasti membuka ruang sangat lebar praktik pendistribusian kekuasaan di antara anggota keluarga sedarah. Politik dinasti selain untuk memastikan suksesi kekuasaan, juga untuk melanggengkan akses terhadap kekuasaan politik dan ekonomi di tangan satu klan keluarga tertentu. 

Meskipun politik dinasti adalah fenomena global, tak ada jaminan bahwa klan politik keluarga ini mampu bertahan lama, apalagi bersifat kekal. Terjadi pasang surut politik atas karir anggota klan keluarga tertentu di satu negara. Kini, klan keluarga Kennedy di Amerika Serikat dan Gandhi di India sedang memasuki masa redup dan surut. Terlebih lagi di era demokratisasi dan egalitarian seperti sekarang, nama besar keluarga tak bisa dijadikan garansi politik untuk merebut jabatan politik prestisius. Warga bangsa yang makin cerah, cerdas, dan melek politik menyadari bahwa hal-hal yang berbau warisan karena garis nasab klan keluarga tertentu bukan jadi faktor pemikat dalam memberikan dukungan politik.